Saturday, October 11, 2014

Berhenti


Waktu demi waktu telah berganti, hidup pun tak pernah sama kembali. Meskipun, sering kali aku mencoba menghadang bendungan rasa rindu yang berkecamuk. Namun, nyatanya dirimu tetap dirimu. Sedangkan, aku. Hanyalah, sedemikian kecil kenangan yang mulai telah terhapus dari memorimu. Melebur dengan segala kenangan lain yang tak pantas menempati bagian dari ingatanmu. Maka, di saat itu akalku mulai mencabik-cabik khayal demi khayal yang kurengkuh sedemikian rupa. Dan, rindu itu seharusnya mati terkurung pilu. Namun, sekali lagi. Tidak pernah.



Menggenggam harap yang sepenuhnya hanyalah sebuah ilusi hitam adalah kemunafikan terbesar yang mulai merenggut dinding asaku yang merapuh. Aku belum sanggup hidup dalam rongrongan takdir itu. Aku masih nyaman dengan jengkal demi jengkal khayalan yang menguasai alam pikirku ini. Apalagi, jika bukan tentang malam dan bintang yang dulu pernah mengisi keheningan itu. Malam dimana bintang nampak bersinar terang di sudut mata jiwa yang menebar kagum dalam dada. Jika pu, ada harga untuk membeli kebersamaan itu. Niscaya, aku adalah orang pertama yang memperjuangkan segalanya. Hanya saja, aku tak mampu.

Aku belum mampu berupaya kembali pada pertemuan itu. Walaupun, semestinya waktu masih memberi peluang untuk melukis kembali untaian rindu yang terpupuskan. Namun, aku tak yakin mampu merangkainya lagi dalam diam. Sebab, tiada balasan pun sudah cukup menyakitkan. Aku ingin mencoba menyerah dengan ketidakpastian ini. Tetapi, waktu akan kembali menyentakku untuk merindu. Tak kuasa, leburan memori itu kembali menguap dan menyatu dalam relung jiwaku.

Tidak akan lagi. Tidak akan lagi terulang masa-masa itu. Meskipun aku telah mencoba dengan segala upaya terhebatku. Mungkin berhenti dari dongeng ini adalah takdir lain dari hidupku. Yang mungkin, aku belum menyadarinya. Takdir yang akan menuntunku pada jalan terbaik demi mengingatmu dengan cara yang lebih baik pula. Aku pun meyakini itu. 

No comments:

Post a Comment